1. Konsep
Sehat
Kemajuan
teknologi pengobatan dan ditemukannya berbagai macam obat, memiliki
kecenderungan yang mendorong orang untuk mempertahankan kesehatannya dengan
menggantungkan diri pada obat hingga pola hidup “sehat” seolah-olah dilupakan
dan baru setelah perang II konsep “sehat” mendapatkan perhatian dan
dikembangkan hingga saat ini. Oleh karena itu, timbul berbagai konsep “sehat”
yang ditinjau berdasarkan sudut pandang yang berbeda, misalnya :
1. Konsep
“sehat” dipandang dari sudut fisik secara individu
Konsep “sehat” secara
fisik dan bersifat individu ialah “seorang dikatakan sehat bila semua organ
tubuh dapat berfungsi dalam batas-batas normal sesuai dengan umur dan jenis
kelamin”. Kesulitan yang dihadapi konsep ini adalah penentuan “normal” masih
belum dapat dibakukan.
2. Konsep
“sehat” dipandang dari sudut ekologi
Konsep “sehat”
berdasarkan ekologi ialah “sehat berarti proses penyesuaian antara individu
dengan lingkungannya. Proses penyesuaian ini berjalan terus-menerus dan
berubah-ubah sesuai dengan perubahan lingkungan yang mengubah keseimbangan
ekologi dan untuk mempertahankan kesehatan orang dituntut untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan”.
(Eko Budiarto. 2002:12-13)
(Eko Budiarto. 2002:12-13)
3. Konsep
“sehat” dipandang dari sudut budaya
Sehat
dilihat berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh
Linda Ewles & Ina Simmet (1992) adalah sebagai berikut:
· Konsep sehat dilihat
dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena perhatiannya
pada fungsi mekanistik tubuh
· Konsep sehat dilihat
dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan koheren. Istilah
mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada hubungan yang dekat
diantara ketiganya
· Konsep sehat dilihat
dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi seperti
takut, kenikmatan, kedukaan, dan
kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-emosi secara cepat
· Konsep sehat dilihat
dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan mempertahankan hubungan
dengan orang lain
·
Konsep sehat dilihat
dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan praktek keagamaan,
berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip tingkah laku,
dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian. Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu
berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena
kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi individu
tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam masyarakat yang “sakit” yang
tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan
emosional. (Djekky.2001:8)
Indonesia juga mendefinisikan sehat yang tercantum dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan yaitu :
“kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan social yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara social dan ekonomis.”
Karena
adanya perbedaan dalam sudut pandang tersebut maka hingga kini belum terdapat
batasan “sehat” yang memuaskan. Konsep sehat yang banyak dianut oleh berbagai
negara adalah konsep “sehat” yang tercantum dalam pembukaan konstitusi WHO
(1948) yang berbunyi sebagai berikut.
“Health is stage of complite physical,
mental, and social well being and not merely the absence of disease or
infirmity”
Sedangkan Konsep “sehat” tersebut
sangat ideal hingga dalam kenyataan sulit dicapai maka timbullah beberapa
kritik terhadap konsep tersebut.
1. Sehat
bukanlah suatu keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu proses yang dinamis
dan berubah-ubah setiap saat.
2. Batasan
“sejahtera” sangat sulit ditentukan.
3. Indikator
yang digunakan untuk mengukur sangat banyak dengan validitas yang berbeda-beda.
(Eko Budiarto. 2002:12-13)
2. Konsep
Sakit
Pembahasan konsep “sehat” harus diikuti
dengan pembahasan konsep “sakit” karena kedua konsep tersebut berkaitan satu
dengan yang lain, bahkan pada kondisi tertentu tidak mempunyai batas yang
jelas. (Eko Budiarto. 2002:13)
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara
ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari
masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat
berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat
disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik” yang dikutib dari Djekky (2001:
15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi
fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan
dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit
(illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu
penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini ditandai dengan perasaan
tidak enak.
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep
kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di bawah
ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada
masyarakat tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai
etnomedisin, bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua
kategori umum yaitu:
·
Personalistik
munculnya penyakit
(illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat
berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan manusia
(hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
·
Naturalistik
penyakit (illness) dijelaskan
dengan istilah-istilah yang sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakui
adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap
dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang
menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan
sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit (1986;63-70)
Walaupun
secara umum konsep “sakit” lebih mudah ditentukan, tetapi dalam hal-hal
tertentu akan sama sulitnya dengan penentuan batasan “sehat” karena itu sampai
sekarang, konsep “sakit” masih menjadi perdebatan dan belum terdapat batasan
yang baku.
Bila
kita mengadakan perbandingan insidensi atau prevalensi penyakit tanpa memperhatikan
batasan atau kriteria yang digunakan akan menimbulkan bias. Demikian pula
dengan klasifikasi internasional yang dilakukan perubahan setiap 10 tahun
sekali. Hal ini disebabkan karena dengan kemajuan teknologi di bidang
kedokteran hingga klasifikasi yang lama dianggap tidak sesuai lagi disamping
ditemukannya penyakit yang baru.
(Eko
Budiarto. 2002:13)
3. Perkembangan Teori Terjadinya Penyakit
Penyakit
merupakan salah satu gangguan kehidupan manusia yang telah dikenal orang sejak
dahulu. Pada mulanya, orang mendasarkan konsep terjadinya penyakit pada adanya
gangguan makhluk halus atau karena kemurkaan dari Yang Maha Pencipta. Hingga
saat ini, masih banyak kelompok masyarakat di negara berkembang yang menganut
konsep dasar tersebut. Di lain pihak, masih ada gangguan kesehatan atau
penyakit yang masih belum jelas penyebabnya, maupun proses kejadiannya.
Beberapa
teori yang menyatakan tentang timbulnya penyakit :
·
Hippocrates
Hipocrates telah mengembangkan teori
bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang meliputi air,
udara, tanah, cuaca dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam teori ini tidak
dijelaskan bagaimana kedudukan manusia dalam interaksi tersebut, serta tidak
dijelaskan pula faktor lingkungan bagaimana yang dapat menimbulkan penyakit.
·
Teori masyarakat cina
Teori masyarakat Cina, timbulnya
penyakit karena adanya gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh manusia (teori
humoral). Dalam teori ini dikatakan bahwa dalam tubuh manusia ada empat macam
cairan yaitu cairan putih, kuning, merah dan hitam, bila terjadi gangguan
keseimbangan akan menimbulkan penyakit tertentu, tergantung pada cairan mana
yang bersifat dominan.
· Terjadinya penyakit akibat
terjadinya pembusukan sisa makluk hidup sehingga menimbulkan pengotoran udara
dan lingkungan sekitarnya. Teori ini berkembang terutama pada abad pertengahan
dan pada waktu itu lebih mengarah pada kebersihan lingkungan terhadap sisa-sisa
peninggalan makhluk hidup.
· Setelah ada mikroskop, konsep
penyebab penyakit beralih ke jasad renik. Perkembangan selanjutnya mengantar
para ahli ke arah yang lebih maju, sehingga selain jasad renik, disusul pula
dengan teori hormonal dan imunitas yang semakin berkembang. Pada saat itu,
orang mulai optimis dalam menghadapi berbagai penyakit dengan antibiotik, sistem
imunitas dan lain sebagainya.
Pada
saat ini, teori tentang faktor penyebab penyakit tidak dapat dipisahkan dengan
berbagai faktor yang berperan dalam proses kejadian penyakit yang dikembangkan
melalui teori ekologi lingkungan yang didasarkan pada konsep bahwa manusia
berinteraksi dengan berbagai faktor penyebab dalam lingkungan tertentu dan pada
keadaan tertentu akan menimbulkan penyakit yang tertentu pula.
(Nur Nasry Noor,
2008:26-28)
4. Konsep
Penyebab dan Proses Terjadinya Penyakit
Pengertian penyebab penyakit dalam epidemiologi
berkembang dari rantai sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yaitu
proses interaksi antara manusia (Host) dengan berbagai sifatnya (biologis,
filosofis, psikologis, sosiologis, antropologis) dengan penyebab (Agent) serta
dengan lingkungan (Environment). (Nur Nasry Noor,
2008:28). Ketiga
faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit. Proses
interaksi ketiga faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
gambar trias penyebab penyakit
Tanda panah pada
lingkaran tersebut menunjukkan akibat dari terjadinya interaksi antara ketiga
faktor tersebut. Proses ini dapat terjadi
secara individu maupun kelompok. (Eko Budiarto. 2002:14). Pendapat ini tergambar di dalam istilah yang dikenal
luas dewasa ini, yaitu penyebab majemuk (multiple
causation of disease) sebagai lawan dari penyebab tunggal (single causation). (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:36).
Misalnya, proses terjadinya
penyakit TBC karena adanya mikrobakterium tuberculosa yang kontak dengan
manusia sebagai pejamu yang rentan, daya
tahan tubuh yang rendah dan perumahan yang tidak sehat sebagai faktor
lingkungan yang
menunjang. (Eko Budiarto. 2002:14-15).
Di dalam usaha para ahli untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai
timbulnya penyakit, mereka telah membuat model-model timbulnya penyakit dan
atas dasar model-model tersebut dilakukanlah eksperimen terkendali untuk
menguji sampai dimana kebenaran dari model tersebut. Tiga model yang dikenal dewasa ini adalah :
1)
Segitiga
epidemiologi (the epidemiologic triangel)
Dalam
teori keseimbangan, interaksi antara ketiga unsur tersebut harus dipertahankan
keseimbangannya. Bila terjadi gangguan keseimbangan
antara ketiganya akan menyebabkan timbulnya penyakit tertentu. Pada keadaan normal, kondisi keseimbangan proses interaksi tersebut dapat
dipertahankan, baik melalui intervensi alamiah terhadap salah satu dari ketiga
unsur tersebut di atas maupun melalui usaha tertentu manusia dalam bidang
pencegahan maupun dalam bidang peningkatan derajat kesehatan. (Nur
Nasry Noor, 2008:29).
Sebagai contoh kasusnya adalah manusia sebagai host, kemudian nyamuk
aides aegypty sebagai agent dan adanya genangan air bersih sebagai lingkungan
pendukung tumbuh-kembangnya nyamuk. Jika kondisi ketahanan tubuh manusia yang
bersangkutan tidak terjaga dengan optimal, penyakit demam berdarah pun akan
muncul. Contoh lain, manusia yang daya tahan tubuhnya
menurun sebagai host. Virus influenza sebagai agent dan environmentya adalah
banyak tetangga yang terkena penyakit influenza.
2) Jaring-jaring
sebab akibat (the web of causation)
Menurut model ini perubahan dari salah satu factor akan mengubuah keseimbangan antara mereka yang berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan.
Menurut model ini perubahan dari salah satu factor akan mengubuah keseimbangan antara mereka yang berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan.
Menurut
model ini, suatu penyakit tidak tergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri
melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses “sebab dan akibat”. Dengan
demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong
rantai pada berbagi titik. Misalnya, penyakit diare. Muncul akibat dari
konsumsi makanan yang kurang bersih atau karena makan tanpa mencuci tangan
sebelumnya. Selain itu, mungkin juga karena adanya permasalahan psikologisnya
dan berefek pada penurunan motilitas usus halus untuk melakukan tugasnya secara
maksimal.
3) Roda
(the wheel)
Seperti
halnya jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan identifikasi dari
berbagai faktor
yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu pentingnya agen. Disini dipentingkan
hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari
masing-masing lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan. Sebagai contoh, peranan lingkungan social lebih besar dari yang lainnya dari stress
mental, peranan lingkungan fisik lebih besar dari yang lainnya pada “sunburn”
peranan lingkungan biologis lebih besar dari yang lainnya pada penyakit yang
penularannya melalui vektor (vector home
disease) dan peranan inti genetic lebih besar dari yang lainnya pada
penyakit keturunan. Misalnya, seorang yang memiliki gen penyakit
diabetes mellitus akan semakin cepat munculnya penyakit tersebut jika didukung
oleh pola makan yang terlalu sering mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat
serta jarang berolahraga dan kurangnya hiburan sebagai penghilang stress
terhadap rutinitas sehari-hari.
Dengan model-model tersebut di atas hendaknya ditunjukkan bahwa
pengetahuan yang lengkap mengenai mekanisme-mekanisme terjadinya penyakit
tidaklah diperlukan bagi usaha-usaha pemberantasan yang efektif. Oleh karena
itu banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali kita dapat mengubah
penyebaran penyakit dengan mengubah aspek tertentu dari interaksi manusia
dengan lingkungan hidupnya, tanpa intervensi langsung pada penyebab penyakit. (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:37-38).
Trims postingannya, sangat membantu karena langsung diberikan gambar.
BalasHapustrims.
BalasHapushttp://obatvitiligo.com/
The Emperor Casino - Play online slots, blackjack, roulette
BalasHapusOnline casino games are the basis of your dreams. And they are the best place to play. The Emperor Casino is a great way 제왕카지노 도메인 to make your